Aku dan separuh agamaku

Aku dan separuh agamaku

Minggu, 28 Juni 2015

Cita Rasa Ramadhan di Negri Ottoman


 Beberapa harı ını aku dan suamı jadı PPT sejati (Para Pencari Takjil). Karena banyaknya undangan berbuka puasa dari beberapa teman, alhasil kami hanya bisa beberapa kali buka puasa romantis hehehe (kayaknya sejauh ini baru satu kali buka puasa berdua di rumah..ruar biasa).

Jadi kangen hidangan berbuka puasa di Indonesia. Biasanya kalo di rumah mamah pasti masak macem-macem dan jenisnya berbeda tiap hari. Disini menu berbuka puasa hanya itu-itu saja, çorba (sup), aneka hidangan terong-terongan, sayur-sayuran yang biasanya dimasak dengan bumbu yang sama (bawang bombay, salça (saus tomat), garam dan merica), ayam bumbu turki yang cuma dikasih salça dan bawang bombay terakhir tak lupa tradisi minum teh dan makan kudapan manis yang tingkat kemanisannya ngalahin kemanisan aku hahaha.

Kehangatan keluarga yang mengundang kami untuk PPT adalah salah satu alasan kami lama berbetah-betah sampai larut tidak peduli dengan makanan yang kadang tak cocok dilidah. Percakapan dengan beberapa penutur asli bahasa Turki menjadi salah satu latihanku dalam memahami bahasa Turki. Dengan modal bahasa Turki yang apa adanya, aku bisa bercerita panjang lebar dengan mereka, kalaupun ada kata yang tidak faham kami saling menjelaskan dengan bahasa tubuh ala tarzan hihihi.

Kala waktu tarawih tiba, kami datang berbondong-bondong ke masjid sekitar rumah. Beberapa orang Turki menatap aneh ketika aku datang ke dalam mesjid. Karena perbedaan fisik dan warna kulit yang mencolok dari diriku, rasanya tidak heran mereka memandangku beberapa lama. Pernah aku pergi ke masjid untuk shalat tarawih dengan menggunakan mukena, baru saja masuk beberapa langkah kedalam masjid beberapa mata sudah memandang aneh. Mukena memang hanya digunakan di beberapa negara asia seperti ındonesia dan Malaysia. Negara Turki tidak tahu apa itu mukena, karena biasanya perempuan Turki hanya solat dengan pakaian yang mereka kenakan. Memang ada pakaian khusus shalat, tapi berbeda fisik dengan mukena.

Karena perbedaan mahzab antara Indonesia dan Turki, maka perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan shalat tarawih dan witir tentu saja ada. Disini shalat tarawih terbilang cepat karena imam hanya membaca satu ayat dalam al-quran disetiap rakaatnya, lalu di beberapa mesjid shalat tarawih dilakukan 4 rakaat. Maka tak heran shalat tarawih hanya berlangsung satu jam.  Jika di Indonesia pembacaan qunut hanya dilakukan ketika menjelang akhir bulan Ramadhan, disini bacaan qunut dilakukan setiap hari dalam shalat witir.

Mazhab hanafi tidak memakai doa iftitah dalam shalatnya, hal tersebut saya ketahui dari mahasiswa Indonesia yang semalam diundang suami untuk sahur bersama. Selain itu mazhab hanafi tidak mengenal bacaan diantara dua sujud, hal tersebut saya ketahui ketika shalat berjamaah dengan suami, pantas saja setelah sujud dan bangkit rentang waktunya dilakukan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Terlepas dari itu semua, ada hal yang saya kagumi dari masyarakat Turki penganut mazhab hanafi, yaitu kegemaran mereka melakukan sunnah rasul. Salat sunah sebelum dan sesudah shalat mereka lebih banyak dari mazhab syafii. Syafii melakukan sunnah hanya dua kali dalam setiap shalat, sedangkan hanafi berbeda-beda sesuai dengan jumlah rakaat shalat wajib yang dilakukan.

Yang puasa ya puasa, yang tidak puasa bisa makan seenaknya di depan orang yang tidak puasa. Hal ini saya dapati ketika berkunjung ke kampus suami. Cafetaria tetap buka seperti biasanya dan “warung”nya tidak dilengkapi dengan penutup seperti di Indonesia. Dalam hal ini rupanya masyarakat Turki benar-benar diuji keteguhannya dalam beribadah. Aku hanya kasian pada anak-anak Turki yang sedang belajar berpuasa semoga mereka diberi kekuatan dalam beribadah.

Selain hal tersebut, waktu berpuasa di Turki juga lebih panjang 5 jam dari waktu berpuasa di Indonesia. Awal-awal berpuasa rasanya saya tidak sanggup karena tubuh yang biasa dipakai berpuasa 12 jam tiba-tiba harus berpuasa dalam waktu 17 jam. Tapi lama kelamaan rasanya hal tersebut sudah biasa dan buktinya saya sanggup berpuasa sampai hari ini alhamdulillah. Jadi rasanya lucu sekali jika mendengar keluhan berpuasa di negara Indonesia. Mengeluh panaslah, di Turki puasa kali ini jatuh di musim panas dan bayangkan saja matahari bersinar lebih lama dari biasanya. Selain cuaca tentu kesadaran masyarakat Turki yang kurang dalam menghormati orang-orang yang berpuasa, padahal hal tersebut tidak terjadi di masa kejayaan Ottoman. Benar-benar gempuran sekularisme yang sangat kuat hingga menjatuhkan tradisi keislaman di sini. Semoga Allah memberikan “pundak” yang lebih kuat dari biasanya untuk orang-orang Turki yang sedang menjalankan ibadahnya aamiin.


Nantikan catatan selanjutnya :D


Suasanya menjelang berbuka puasa di Ankara 


Keluarga Favorite di acara PPT saya 
dan suamı :D

Kamis, 18 Juni 2015

Ramadhan petama di negri Kebab..


Setelah wifi terbit,  inspirasi menulis akhirnya muncul sebanyak yang diperlukan. Karena wifi yang kuat sejalan dengan keinginan kuat untuk menulis (versi on the gue).
Jadi sekarang mau nulis pengalaman Ramadhan di negri Kebab. Sahur pertama dilakukan di rumah salah satu teman suami karena kebetulan istrinya temen suami ngundang main ke rumahnya dan suami juga pulang larut banget.
Makanan sahur ala Turki tak semeriah mentereng sahurnya orang Indonesia. Di Turki, kita makan roti, selai, yoghurt, salad dan keju-kejuan. Dan setiap hari bakal seperti itu aja makanannnya, tak ada yang istimewa hehehe.
Sahur disini gak sesantai sahur di Indonesia. Di Indonesia mungkin kita bisa sedikit leluasa buat tidur selepas tarawih. Tapi disini jangan harap kita bisa tidur leluasa selepas tarawih. Buka puasa jam 9 malem, dilanjut dengan tarawih jam 10 malem sampe jam 12 malem. Kalau tidur ya bisa-bisa gak kebagian waktu buat sahur karena imsak sekitar jam 4 subuh.
Ada tradisi ngebangunin sahur juga disini, percis di Indonesia. Mereka ngebangunin sahur pakaı drum yang dipuku-pukul ngelilingin komplek. Tapi kalau soal meriah, Indonesia juaranya. Dulu pas kecil selalu kepengen pergi sama anak laki-laki ngelilingin kampung buat bangunin orang buat sahur. Tapi karena perempuan, jadi gak dibolehin sama mamah. Sampe sekarang rasanya nyesel aja gak pernah nekat ngelakuin itu karena masa tersebut udah berlalu. Padahal kalo difikir-fikir, paling kena marah aja sama mamah dan hal itu udah biasa hehehe.
Ramadhan selalu meriah di Indonesia dan tak ada tempat semeriah penyambutan Ramadhan selain di Indonesia. Tahun ini jadi tahun pertama aku puasa sebagai istri dari anak-cucu pejuang islam terhebat di masanya. Di negara Ottoman, yang dahulu gaung kehebatannya menggema ke seluruh penjuru bumi dan kekuasaannya hampir separuh dunia. Cahaya İslam amat terang benderang kala itu, dan bisa jadi kemungkinan penyambutan Ramdhan lebih meriah dibanding hari ini.
Setiap kejayaan suatu kaum pasti akan tiba di masa kehancurannya. Layaknya roda berputar yang selalu memberikan tempat terendah dan teratas pada setiap sisinya. Hal tersebut juga berlaku di negara ini. Negara islam terhebat ini perlahan bobrok dimakan sekulerisme yang tak henti-hentinya masuk dan menabrak semua tradisi keislaman yang mendarah daging selama berabad-abad.
Dan rasa rindu merayakan Ramadhan di kampung halaman tidak serta merta ditelan pahit. Karena sejatinya bahwa salah satu tujuan hidup adalah mencari pengalaman sebanyak banyaknya. İni sejalan dengan prinsip hidupku yang aku tanamkan beberapa tahun silam, merantaulah maka kau akan menemukan jati dirimu. Suka tidak suka, ada saatnya kamu melangkah jauh dari tempat dimana kau dilahirkan. Berjalan ribuan mil dengan kedua kaki yang sudah Allah berikan sebagai bonus untuk ragamu. Mempelajari arti dari kerinduan dan kasih sayang. Untuk kemudian bersyukur karena mungkin posisiku sekarang adalah posisi yang jutaan orang lain harapkan.
Dari kejauhan, mesjid-mesjid ala Turki berdiri dengan kokohnya. Dan ada sematan kalimat “Hoş geldin ya Sher-ı Ramazan” di sebagian bangunannya. Kalimat ini berarti “Selamat datang ya Ramadhan”.
Tak meriah bukan berarti tak menyambut dengan baik. Justri orang Turki sangat menantikan bulan penuh barokah ini dengan cara lain. Mesjid selalu dipenuhi oleh orang-orang  di bulan ini. Baik untuk shalat, tadarus atau bahkan hanya sekedar berdialog dengan Allah.
Dan aku tentu harus siap dengan pengalaman puasa terpanjang pertama ini, 19 jam. Lalu apa pantas kita mengeluh “lapar,  haus dan capek” di durasi puasa 12 jam? Di swedia bahkan mereka harus menahan lapar dan haus selama 22 jam.

Berhentilah mengeluh.