Aku dan separuh agamaku

Aku dan separuh agamaku

Sabtu, 29 Februari 2020

STANDAR GANDA


Ciee, lagi ada niat nulis. Pasti sedang ada keresahan yang sedang dipendam *eaa*

Memang jam-jam segini paling enak buat nulis sih, ditambah lagi ada bahan juga. Lemah banget ya saya, nulis aja harus nunggu mood, tapi emang nulis pakai mood itu paling enak. Selain jadi lebih mengalir ketika menulis, saya juga gak buntu pas nulis paragraf selanjutnya. Karena ya ngeselin banget kalau buntu, kayak stuck gitu. Kalau diterusin, si tulisan  jadi aneh pas dibaca.
Jadi begitulah,  intermezzo dikit sebelum nulis blog hihihi.

Tulisan ini random banget sih sebenarnya, berawal dari obrolan tadi sore dengan kenalan kami yang punya kenalan yang mau nikah sama orang Turki (eh ribet ya wkwkwk, hehe jadi gini maksudnya: sepupu teman kenalan saya ini mau nikah sama orang Turki), terus jadi inget sama obrolan-obrolan kemarin sama teman-teman tentang suka duka menikah dengan orang Turki. Obrolan yang sebenarnya berisi keresahan kami akan banyaknya orang-orang yang berstandar ganda tentang pernikahan Indonesia dan Turki.

Saya cerita soal pertemuan saya dengan kenalan saya dulu ya. Berawal dari pesan di Facebook, si mbak bercerita tentang keresahannya terhadap sepupu temannya. Yup, dia akan menikah dengan orang Turki, tapi si mbak kenalan saya ini agak skeptis sama calon suaminya. Kenalan saya ini traveler, pernah tinggal di Turki selama beberapa bulan dan kebetulan pernah juga dekat dengan pria Turki. Jadi, sedikit banyak si mbak ini sudah ada pengalaman dengan pria Turki. Kita sebut mbak ini mbak Bulan.

Pas ngobrol sama mbak Bulan, saya dan suami bener-bener relate dan kami sependapat dengan mbak Bulan. Bukan menghakimi, tetapi waspada. Sedikit skeptis karena kami mendegar beberapa “sifat” pria Turki ini yang sedikit kurang cocok sama kami bertiga. Tapi ya, lagi-lagi kami hanya bisa mendoakan yang terbaik. Karena pada akhirnya memang kami bisa apa? Terlalu sulit meningatkan orang yang sedang jatuh cinta. Setelah itu, saya dan Mustafa hanya menjelaskan ke mbak Bulan perihal hal apa saja yang nanti harus dilakukan oleh sepupu temannya ketika dia sampai Turki. Lalu memberikan nomor handphone kenalan kami di kota yang nanti akan ditinggali si mbak ini, supaya si mbak ini ada teman. Masalah selesai.

Setelah itu, saya mulai teringat obrolan bersama teman-teman saya perihal keresahan kami terhadap pelaku kawin campur yang memiliki kecenderungan standar ganda. Sebagian dari mereka memang memberikan edukasi bahwa menikah dengan pria Turki tidak seindah bayangan, tetapi disamping itu mereka juga “promosi” pria Turki. Terkesan menjual pesona pria Turki kepada mereka yang memang sedang dekat/ mencari pria Turki tetapi disisi lain mereka skeptis parah dengan pria Turki. Malah ada yang mengiming-imingi pria Turki dalam promosi wisata Turkinya, padahal dia juga nulis hal negatif soal pria Turki. EH JADINYA GIMANA INI? Katanya hati-hati, tapi ya kok promosiin pria Turki juga. Sekedar informasi, nikah sama orang Turki lagi jadi trend guys.. Sebenarnya kami berdua bingung harus sedih atau senang dengan fenomena ini hahaha.

Tidak sedikit dari mereka yang menjodoh-jodohkan teman atau kenalan mereka dengan orang Turki. Kok kebalikan banget gitu sama tujuan awal edukasi mereka, ini pendapat pribadi aja ya. Saya dan Mustafa sedikit kapok “mengenalkan” teman Turki dan teman Indonesia kami. Gak mau ngenalin orang-orang lagi, cukup kami saja yang menikah campur Indonesia-Turki di keluarga dan circle kami hahaha.

Alasan ini dengan dasar kok, karena pernah kecolongan juga sekali. “Baik” aja itu engga cukup, ternyata memang dalamnya manusia itu tidak bisa diukur sekejap. orang yang kami anggap ideal untuk dikenalkan kepada teman Indonesia kamipun bisa “tidak sesuai ekspektasi” pada akhirnya. Kami jadi merasa bersalah pernah mengenalkan dia dengan teman Indonesia kami, kalau mereka jadi menikah ya kami akan sangat menyesal. Tujuan baik belum tentu berakhir baik.

Saya dan Mustafa tipe orang yang engga enakan, dan jadi berfikir sangat jauh kedepan. Sudah tidak jadipun kami masih berfikir dengan kemungkinan yang terjadi kalau mereka menikah nanti. Aduh, gimana ya? Kalau jadi nikah kan kesannya kayak menjerumuskan ke lubang hitam. Ya Allah, terima kasih masih melindungi kami semua. Baik sebagai teman kami belum tentu baik untuk jodoh teman Indonesia kami. Sebagai teman,dia baik. Tetapi untuk jodoh teman Indonesia kami, hmm engga dulu deh. Kami tidak mau pertemanan kami semua hancur karena masalah ini. Sekarang, kalau ada yang “minta” cariin jodoh ya kami langsung arahkan ke situs perjodohan online aja. Silahkan cari sendiri. Main aman banget ya wwkkwkw. Intinya ya kami berdua bukan makelar jodoh cyin.

Tulisan ini bisa jadi peringatan untuk teman-teman yang sekarang sedang mencari jodoh atau sedang dalam hubungan yang serius dengan pria Turki. Intinya kalian semua harus waspada dan hati-hati. Jangan mudah terbuai dengan rayuan “Seni çok seviyorum dari pria Turki yang baru kalian kenal secara online. Apalagi kalau baru kenal satu atau dua bulan. Aduh, itu sangat rawan. Jangan baper dulu ya. Nikmati dulu aja proses perkenalan kalian, kalau dirasa kelamaan dan kesannya kayak pacaran ya lebih baik putusin saja hahaha. Kalau mau taaruf silahkan, tapi menurut saya proses taaruf sedikit kurang cocok diterapkan pada kasus ini, barangkali ada yang berpengalaman taaruf dengan “orang random” yang kalian kenal di sosial media? Silahkan tinggalkan komentar dibawah (ingat! Yang proses taarufnya beneran ya! Tidak terima proses taaruf abal-abal yang ternyata masih ada atmosfir pacarannya).

Saya dan Mustafa melalui proses pacaran. Selama proses pacaran 2 tahun itu kami berdua benar-benar mendalami karakter masing-masing. Mustafa datang ke Indonesia untuk berkenalan dengan orang tua saya terlebih dahulu. Hal tersebut semakin meyakinkan saya bahwa memang dia serius, tidak hanya manis dibibir dan jari. Setahun kemudian kami menikah. Sebuah keputusan yang sebenarnya gila, mengingat kami menikah diusia yang cukup muda. Dengan modal bismillah kami mantap melaju ke pernikahan dan  sudah siap dengan resiko yang kami akan dapatkan dimasa depan. Pokoknya ambil hal baiknya aja dari kami, yang tidak baik ya engga usah diikutin. Jangan contoh semuanya, karena kami hanya manusia, tindakan kami bisa salah juga.

Tanyalah hati kecil, apakah yakin untuk lanjut? Timbang baik dan buruknya, pikirkan resiko terburuk yang kemungkinan akan terjadi dimasa depan. Seringkali ada yang nekad menikah walaupun terkendala masalah Bahasa (ya tidak sedikit juga yang sukses manikah walaupun ada masalah Bahasa). Nah, masalah Bahasa itu penting untuk saya dan Mustafa. Lagi-lagi ini pendapat pribadi ya, karena pernikahan itu 90% isinya komunikasi. Tidak banyak orang Turki yang bisa berbahasa Inggris, kalau misalnya kalian berdua tidak punya ”common language”, lebih baik pikirkan lagi kalau mau menikah, kecuali ada yang mau mengalah ya. Konsekuensinya ya kalian harus siap-siap dengan kemungkinan salah faham yang akan datang diawal-awal pernikahan. Pada kenyataannya banyak yang kelabakan karena masalah bahasa. 

Selain itu, ketika pria Turki yang kalian kenal sudah memiliki kecenderungan temperamental, ada baiknya kalian fikirkan SEJUTA KALI UNTUK MENIKAH. Lagi-lagi manusia memang tidak bisa ditebak, yang terlihat kalem dan biasanya kalempun bisa tempramen ya. Kalian sendiri yang tau kapasitas diri kalian, sanggup engga? Kalau sanggup ya lanjut, tetapi kalau saya sih kemungkinan engga akan lanjut kalau Mustafa misalnya cenderung tempramen selama pacaran. Aduh, lemah banget. Gak bisa dikasarin emang, ya tau kapasitas aja, gak mau maksain juga.

Saya juga engga akan lanjut kalau Mustafa kelewatan posesif dan insecure. Kunci hubungan kami berdua adalah saling percaya dan komitmen. Tetapi kalau ada kelewat “sok dekat” sama Mustafa ya saya keluar tanduknya juga, seringkali ada perempuan Indonesia yang sedang pacaran dengan pria Turki dan curhat sama Mustafa sewaktu kami belum menikah. Sudah pasti bakal saya tegor sih kalau keseringan. Padahal Mustafa juga selalu meminta mereka untuk kontak langsung dengan saya, kalau ada yang kena block sama saya artinya udah kelewatan banget yaaa. Mustafa juga gak nganggur ngebalesin terus. .

Ya Mustafa posesif sih, tetapi dia tidak pernah sampai hati untuk memutuskan hubungan saya dengan teman-teman dan keluarga saya. Saya memiliki kehidupan lain sebelum bertemu dengan Mustafa dan Mustafa merasa tidak berhak untuk “mengobrak-abrik” kehidupan saya sebelum bertemu dengan dia. Mustafa juga memperbolehkan saya untuk memiliki sosial media, selama saya sadar akan skala prioritas. Kalau pacar atau kenalan kalian sudah berani untuk melarang kalian bersosial media kemudian berani menghapus semua akses dunia maya kalian seakan-akan hidup kalian benar-benar HANYA untuk dia, SARAN SAYA PIKIRKAN KEMBALI KALAU MAU MENIKAH. Ingat, kalian manusia, kalian makhluk sosial. Kalian butuh bergaul, kebayang gak sih di negara orang kalian gak boleh gaul sama sekali? Di dunia nyata udah engga boleh, ditambah dunia maya juga engga boleh! Beneran dilarang total buat interaksi sama teman di Indonesia.  Ditambah kehidupan kalian hanya seputar urusan rumah tangga. Guys, kalian bisa stres parah. Buat saya, porsi suami dan istri itu harus super seimbang, aduh jangan sampai ada yang dominan gitu. Tapi guys, ada juga sih perempuan yang menikmati di posesifin dan di-insecure-in begini, beda-beda ya tiap orang

Buat saya, sosial media itu sangat penting bagi pelaku kawin campur. Ya buat mantau berita, buat ina inu itu, minimal buat kabar ke keluarga di Indonesia, karena ada juga orang yang gak terlalu suka main whatsApp kayak saya hahaha. Saya engga terlalu suka chat dan telepon keluarga saya di whatsApp, tapi suka banget main di Instagram. Minimal adik-adik saya tahu kabar saya dari Instagram.

***

Pada akhirnya saya cuma mau bilang kalau rezeki setiap orang itu berbeda-beda. Kalian tidak bisa berekspektasi kalau hidup kalian akan sama seperti orang lain hanya karena mengikuti caranya mendapatkan sesuatu. Hati-hati dalam bermimpi. Melihat kehidupan rumah tangga pernikahan kawin campur pasangan Indonesia-Turki sepertinya sangat ideal di medsos, lantas kalian juga berfikir untuk mencari orang Turki supaya bisa hidup seperti mereka. Kemudian terbayang tinggal di luar negri, jalan-jalan terus, suami romantis, dan hal indah lainnya. Percayalah, kehidupan rumah tangga yang ideal itu engga begitu wkwkwk.

Saya juga mau ngingetin kalau Mustafa itu bukan gambaran umum pria Turki. Ada banyakkkkkk karakter pria Turki yang sangat berbeda satu sama lain dan tidak semua pria Turki seperti Mustafa. Jangan jadikan kami berdua junjungan couple goal Indo-Turki (lagian siapa juga sik yang jadiin kami berdua couple goal? Wkwkwk). Hanya karena kalian melihat Mustafa begini dan begitu, tidak berarti semua pria Turki juga begini dan begitu seperti Mustafa.

Saya tidak setuju dengan gambaran maha sempurna soal pria Turki karena ya ada juga pria Turki yang aneh, tetapi saya juga tidak setuju kalau ada yang berbicara terlalu negatif dan terkesan sangat berengsek mengenai pria Turki. Rasanya tidak rela ketika suami saya disamakan dengan mereka. Bagaimanapun suami saya adalah orang Turki dan dia tidak seperti itu. Intinya ketika menjelaskan suatu hal ya kita harus seimbang. Apalagi ngejelasin soal karakter orang dari suatu negara yaaa, aduh kadang itu ada yang gak relate juga gitu. Saya paling engga mau nulis bahasan ini, karena akan terkesan sangat subjektif ketika dituliskan.

Jadi penulis blog itu kadang banyak pertimbangannya, kira-kira tulisan kita menyinggung enggak ya? Terlalu negatif engga ya? Terlalu positif engga ya? Terlalu subjektif engga ya? Bakal bermasalah enggak ketika dinaikan? Nulis blog juga gak asal nulis, saya juga masih latihan sampai sekarang supaya tulisan saya bisa dinikmati banyak orang engga menyinggung. Sebisa mungkin saya engga berat sebelah ketika bahas satu topik di blog. Eh jadi kemana-mana bahasnya kan wkwkwk.
Pokonya begitu ya, semoga bisa nangkep apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini. Sampai disini dulu tulisan saya, sampai ketemu di tulisan selanjutnya….

Cakarta, 1 Maret 2020.