Setelah
wifi terbit, inspirasi menulis akhirnya
muncul sebanyak yang diperlukan. Karena wifi yang kuat sejalan dengan keinginan
kuat untuk menulis (versi on the gue).
Jadi
sekarang mau nulis pengalaman Ramadhan di negri Kebab. Sahur pertama dilakukan
di rumah salah satu teman suami karena kebetulan istrinya temen suami ngundang
main ke rumahnya dan suami juga pulang larut banget.
Makanan
sahur ala Turki tak semeriah mentereng sahurnya orang Indonesia. Di Turki, kita
makan roti, selai, yoghurt, salad dan keju-kejuan. Dan setiap hari bakal
seperti itu aja makanannnya, tak ada yang istimewa hehehe.
Sahur
disini gak sesantai sahur di Indonesia. Di Indonesia mungkin kita bisa sedikit
leluasa buat tidur selepas tarawih. Tapi disini jangan harap kita bisa tidur
leluasa selepas tarawih. Buka puasa jam 9 malem, dilanjut dengan tarawih jam 10
malem sampe jam 12 malem. Kalau tidur ya bisa-bisa gak kebagian waktu buat
sahur karena imsak sekitar jam 4 subuh.
Ada tradisi
ngebangunin sahur juga disini, percis di Indonesia. Mereka ngebangunin sahur
pakaı drum yang dipuku-pukul ngelilingin komplek. Tapi kalau soal meriah,
Indonesia juaranya. Dulu pas kecil selalu kepengen pergi sama anak laki-laki ngelilingin
kampung buat bangunin orang buat sahur. Tapi karena perempuan, jadi gak
dibolehin sama mamah. Sampe sekarang rasanya nyesel aja gak pernah nekat
ngelakuin itu karena masa tersebut udah berlalu. Padahal kalo difikir-fikir,
paling kena marah aja sama mamah dan hal itu udah biasa hehehe.
Ramadhan
selalu meriah di Indonesia dan tak ada tempat semeriah penyambutan Ramadhan
selain di Indonesia. Tahun ini jadi tahun pertama aku puasa sebagai istri dari
anak-cucu pejuang islam terhebat di masanya. Di negara Ottoman, yang dahulu
gaung kehebatannya menggema ke seluruh penjuru bumi dan kekuasaannya hampir
separuh dunia. Cahaya İslam amat terang benderang kala itu, dan bisa jadi
kemungkinan penyambutan Ramdhan lebih meriah dibanding hari ini.
Setiap
kejayaan suatu kaum pasti akan tiba di masa kehancurannya. Layaknya roda berputar
yang selalu memberikan tempat terendah dan teratas pada setiap sisinya. Hal
tersebut juga berlaku di negara ini. Negara islam terhebat ini perlahan bobrok dimakan
sekulerisme yang tak henti-hentinya masuk dan menabrak semua tradisi keislaman
yang mendarah daging selama berabad-abad.
Dan rasa
rindu merayakan Ramadhan di kampung halaman tidak serta merta ditelan pahit. Karena
sejatinya bahwa salah satu tujuan hidup adalah mencari pengalaman sebanyak
banyaknya. İni sejalan dengan prinsip hidupku yang aku tanamkan beberapa tahun
silam, merantaulah maka kau akan menemukan jati dirimu. Suka tidak suka, ada
saatnya kamu melangkah jauh dari tempat dimana kau dilahirkan. Berjalan ribuan
mil dengan kedua kaki yang sudah Allah berikan sebagai bonus untuk ragamu. Mempelajari
arti dari kerinduan dan kasih sayang. Untuk kemudian bersyukur karena mungkin
posisiku sekarang adalah posisi yang jutaan orang lain harapkan.
Dari
kejauhan, mesjid-mesjid ala Turki berdiri dengan kokohnya. Dan ada sematan
kalimat “Hoş geldin ya Sher-ı Ramazan” di sebagian bangunannya. Kalimat ini
berarti “Selamat datang ya Ramadhan”.
Tak meriah
bukan berarti tak menyambut dengan baik. Justri orang Turki sangat menantikan
bulan penuh barokah ini dengan cara lain. Mesjid selalu dipenuhi oleh
orang-orang di bulan ini. Baik untuk
shalat, tadarus atau bahkan hanya sekedar berdialog dengan Allah.
Dan aku
tentu harus siap dengan pengalaman puasa terpanjang pertama ini, 19 jam. Lalu apa
pantas kita mengeluh “lapar, haus dan capek”
di durasi puasa 12 jam? Di swedia bahkan mereka harus menahan lapar dan haus
selama 22 jam.
Berhentilah
mengeluh.
Hai Dea,
BalasHapusSenang sekali menemukan blog ini. Pertama ngikutin kamu di youtube lalu baru2 ini follow ig mu dan ketika tau kamu punya blog, kayaknya kamu versi blog adalah favorit saya. Heheheh.
Belakangan ini saya juga suka dengan bahasa dan culture Turki gara2 drama Turki. Saya sedang pelan2 belajar Türkçe dan semoga suatu saat diberi rejeki untuk berkunjung ke Turki dan mungkin bisa bertemu kamu.
Amin.