Jadi
kangen hidangan berbuka puasa di Indonesia. Biasanya kalo di rumah mamah pasti
masak macem-macem dan jenisnya berbeda tiap hari. Disini menu berbuka puasa
hanya itu-itu saja, çorba (sup), aneka hidangan terong-terongan, sayur-sayuran
yang biasanya dimasak dengan bumbu yang sama (bawang bombay, salça (saus
tomat), garam dan merica), ayam bumbu turki yang cuma dikasih salça dan bawang
bombay terakhir tak lupa tradisi minum teh dan makan kudapan manis yang tingkat
kemanisannya ngalahin kemanisan aku hahaha.
Kehangatan keluarga yang mengundang kami untuk PPT adalah
salah satu alasan kami lama berbetah-betah sampai larut tidak peduli dengan
makanan yang kadang tak cocok dilidah. Percakapan dengan beberapa penutur asli
bahasa Turki menjadi salah satu latihanku dalam memahami bahasa Turki. Dengan modal
bahasa Turki yang apa adanya, aku bisa bercerita panjang lebar dengan mereka,
kalaupun ada kata yang tidak faham kami saling menjelaskan dengan bahasa tubuh
ala tarzan hihihi.
Kala waktu tarawih tiba, kami datang berbondong-bondong ke
masjid sekitar rumah. Beberapa orang Turki menatap aneh ketika aku datang ke
dalam mesjid. Karena perbedaan fisik dan warna kulit yang mencolok dari diriku,
rasanya tidak heran mereka memandangku beberapa lama. Pernah aku pergi ke
masjid untuk shalat tarawih dengan menggunakan mukena, baru saja masuk beberapa
langkah kedalam masjid beberapa mata sudah memandang aneh. Mukena memang hanya
digunakan di beberapa negara asia seperti ındonesia dan Malaysia. Negara Turki
tidak tahu apa itu mukena, karena biasanya perempuan Turki hanya solat dengan
pakaian yang mereka kenakan. Memang ada pakaian khusus shalat, tapi berbeda
fisik dengan mukena.
Karena perbedaan mahzab antara Indonesia dan Turki, maka
perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan shalat tarawih dan witir tentu saja ada. Disini
shalat tarawih terbilang cepat karena imam hanya membaca satu ayat dalam
al-quran disetiap rakaatnya, lalu di beberapa mesjid shalat tarawih dilakukan 4
rakaat. Maka tak heran shalat tarawih hanya berlangsung satu jam. Jika di Indonesia pembacaan qunut hanya
dilakukan ketika menjelang akhir bulan Ramadhan, disini bacaan qunut dilakukan
setiap hari dalam shalat witir.
Mazhab hanafi tidak memakai doa iftitah dalam shalatnya,
hal tersebut saya ketahui dari mahasiswa Indonesia yang semalam diundang suami
untuk sahur bersama. Selain itu mazhab hanafi tidak mengenal bacaan diantara
dua sujud, hal tersebut saya ketahui ketika shalat berjamaah dengan suami,
pantas saja setelah sujud dan bangkit rentang waktunya dilakukan dengan tempo
yang sesingkat-singkatnya. Terlepas dari itu semua, ada hal yang saya kagumi
dari masyarakat Turki penganut mazhab hanafi, yaitu kegemaran mereka melakukan
sunnah rasul. Salat sunah sebelum dan sesudah shalat mereka lebih banyak dari
mazhab syafii. Syafii melakukan sunnah hanya dua kali dalam setiap shalat,
sedangkan hanafi berbeda-beda sesuai dengan jumlah rakaat shalat wajib yang
dilakukan.
Yang puasa ya puasa, yang tidak puasa bisa makan seenaknya
di depan orang yang tidak puasa. Hal ini saya dapati ketika berkunjung ke
kampus suami. Cafetaria tetap buka seperti biasanya dan “warung”nya tidak
dilengkapi dengan penutup seperti di Indonesia. Dalam hal ini rupanya
masyarakat Turki benar-benar diuji keteguhannya dalam beribadah. Aku hanya
kasian pada anak-anak Turki yang sedang belajar berpuasa semoga mereka diberi
kekuatan dalam beribadah.
Selain hal tersebut, waktu berpuasa di Turki juga lebih
panjang 5 jam dari waktu berpuasa di Indonesia. Awal-awal berpuasa rasanya saya
tidak sanggup karena tubuh yang biasa dipakai berpuasa 12 jam tiba-tiba harus
berpuasa dalam waktu 17 jam. Tapi lama kelamaan rasanya hal tersebut sudah
biasa dan buktinya saya sanggup berpuasa sampai hari ini alhamdulillah. Jadi rasanya
lucu sekali jika mendengar keluhan berpuasa di negara Indonesia. Mengeluh panaslah,
di Turki puasa kali ini jatuh di musim panas dan bayangkan saja matahari
bersinar lebih lama dari biasanya. Selain cuaca tentu kesadaran masyarakat
Turki yang kurang dalam menghormati orang-orang yang berpuasa, padahal hal
tersebut tidak terjadi di masa kejayaan Ottoman. Benar-benar gempuran
sekularisme yang sangat kuat hingga menjatuhkan tradisi keislaman di sini. Semoga
Allah memberikan “pundak” yang lebih kuat dari biasanya untuk orang-orang Turki
yang sedang menjalankan ibadahnya aamiin.
Nantikan catatan selanjutnya :D
Suasanya menjelang berbuka puasa di Ankara
Keluarga Favorite di acara PPT saya
dan suamı :D